Beranda | Artikel
Hadis: Bolehkah Membatalkan Pernikahan karena Adanya Aib (Cacat) pada Pasangan? (Bag. 1)
18 jam lalu

Teks dan derajat hadis

Hadis pertama

Dari Zaid bin Ka’b bin ‘Ujrah, dari ayahnya, ia berkata,

تَزَوّجَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – الْعَالِيَةَ مِنْ بَنِي كِفَارٍ، فَلَمَّا دَخَلَتْ عَلَيهِ وَوَضَعَتْ ثِيَابَهَا، رَأَى بِكَشْحِهَا بَيَاضًا، فَقَال النَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم -: الْبَسِي ثِيَابَكِ، وَالْحَقِي بِأَهْلِكِ، وَأَمَرَ لَهَا بِالصَّدَاقِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi seorang wanita bernama al-‘Aliyah dari Bani Kifar. Ketika wanita itu menemui beliau dan meletakkan (melepaskan) pakaiannya, beliau melihat ada bercak putih di bagian samping pinggangnya (perut bagian samping, pent.). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kenakan kembali pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu.” Lalu beliau memerintahkan agar diberikan mahar untuknya.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh al-Hakim. Dalam sanadnya terdapat Jamil bin Zaid, dan dia adalah perawi yang majhul (tidak dikenal). Selain itu, terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai guru yang meriwayatkan darinya.”

Syekh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan berkata, “Sanad ini sangat lemah, karena berporos pada Jamil bin Zaid. Jamil bin Zaid adalah perawi yang lemah, dan terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai siapa gurunya dalam riwayat ini. Ibnu Ma‘in berkata, “Ia bukan orang yang terpercaya.” Ibnu Hibban berkata, “Hadisnya sangat lemah.” Abu Hatim dan Abu al-Qasim al-Baghawī berkata, “Hadisnya lemah.” Dan al-Bukhari berkata, “Hadisnya tidak sahih.” (Minhatul ‘Allam, 7: 310)

Hadis kedua

Dari Sa‘id bin al-Musayyab, bahwa ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَيَّمَا رَجُلٍ تَزَوّجَ امْرَأةً فَدَخَلَ بِهَا فَوَجَدَهَا بَرْصَاءَ، أَوْ مَجْنُونةً، أَوْ مَجْذُومَةً، فَلَهَا الصَّدَاقُ بِمَسِيسِهِ إِيَّاهَا، وَهُوَ لَهُ عَلَى مَنْ غَرَّهُ مِنْهَا

“Siapa saja laki-laki yang menikahi seorang wanita, lalu telah menggaulinya, kemudian ia mendapati istrinya mengidap penyakit barash (vitiligo), atau gila, atau lepra, maka mahar tetap menjadi hak istri karena ia telah digauli. Namun, suami berhak menuntut ganti dari pihak yang telah menipunya tentang keadaan wanita tersebut.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh Sa‘id bin Manshur, Malik, dan Ibnu Abi Syaibah. Para perawinya adalah terpercaya (tsiqah).”

Syekh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan berkata, “Atsar ini para perawinya terpercaya, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh (Ibnu Ḥajar). Namun, hal itu tidak serta-merta menunjukkan bahwa atsar tersebut sahih. Karena itu pula, beliau tidak secara tegas menyatakan kesahihan sanadnya.

Sejumlah ulama telah melemahkannya, karena Sa‘īd (yakni Sa‘īd bin al-Musayyab, pent.) tidak mendengar langsung dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Ma‘īn dan Abu Hatim. Sehingga sanadnya dianggap munqathi‘ (terputus). Mungkin saja al-Hafizh menyebut nama tabi‘in —yaitu Sa‘īd— agar pembaca memahami bahwa terdapat keterputusan sanad di dalamnya.” (Minhatul ‘Allam, 7: 311)

Hadis ketiga

Sa‘id juga meriwayatkan dari ‘Alī radhiyallahu ‘anhu riwayat yang serupa, dan ia menambahkan,

وَبِهَا قَرْنٌ، فَزَوْجُهَا بِالْخِيَارِ، فَإِنْ مَسَّهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا

“Dan jika pada wanita itu terdapat al-qarn (kelainan pada kemaluan yang menghalangi hubungan badan), maka suaminya diberi hak pilih (antara melanjutkan atau membatalkan pernikahan). Jika suaminya telah menyentuhnya (menggaulinya), maka wanita itu berhak mendapatkan mahar karena telah dihalalkan kemaluannya.”

Syekh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan berkata, “Adapun atsar dari ‘Alī radhiyallahu ‘anhu, maka telah diriwayatkan oleh Sa‘id bin Mansur (1: 213), dan al-Baihaqī (7: 215), melalui jalur asy-Sya‘bī, dari ‘Alī radhiyallahu ‘anhu, dengan lafaz yang semakna dan tambahan sebagaimana disebutkan.

Namun, atsar ini lemah karena terputus sanadnya; karena asy-Sya‘bī tidak mendengar dari ‘Alī radhiyallahu ‘anhu kecuali satu kalimat saja, dan tidak ada yang lain selain itu, sebagaimana dinyatakan oleh ad-Daraquthni.” (Minhatul ‘Allam, 7: 313)

Hadis keempat

Dan dari jalur Sa‘id bin al-Musayyab juga, ia berkata.

قَضَى عُمَرُ – رضي الله عنه – في الْعِنِّينِ أَنْ يُؤَجَّلَ سَنَةً. وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ

“Umar raḍhiyallahu ‘anhu memutuskan hukum terhadap pria yang mengalami ‘innīn (impotensi parah), bahwa dia diberi tenggang waktu selama satu tahun.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para perawinya adalah terpercaya (tsiqat).”

Syekh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan berkata, “Adapun atsar Sa‘īd dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tentang pria yang mengalami ‘innīn (impotensi), maka telah diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq (6: 253), Ibnu Abi Syaibah (4: 207), ad-Daraquthnī (4: 496), dan al-Baihaqi (7: 226), dengan redaksi sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Dan juga telah diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,

يؤجل العنين سنة، فإن جامع وإلا فرق بينهما

“Seorang lelaki yang mengalami impotensi diberi tenggang waktu selama satu tahun. Jika ia mampu berhubungan badan, maka pernikahan itu berlanjut; jika tidak, maka keduanya dipisahkan.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (4: 206) dengan sanad yang sahih menurut syarat Muslim, sebagaimana dinyatakan oleh al-Albani.” (Minhatul ‘Allam, 7: 313)

Kandungan hadis

Kandungan pertama

Hadis ini dan atsar-atsar selanjutnya berkaitan dengan aib (cacat) yang ditemukan pada pasangan (suami atau istri) yang menyebabkan adanya hak khiyar (hak untuk membatalkan atau melanjutkan pernikahan). Yang dimaksud dengan “aib” (cacat) di sini adalah kekurangan secara fisik ataupun mental pada salah satu dari pasangan suami istri yang menghalangi tercapainya tujuan-tujuan pernikahan dan kenikmatan (kebahagiaan) dalam kehidupan berumah tangga. [1]

Cacat-cacat (‘uyub) yang disebutkan oleh para fuqaha (ahli fikih), di antaranya ada yang khusus pada laki-laki, dan yang paling penting ada tiga: (1) kebiri (al-jabb) [2]; (2) impoten permanen (al-khisha’); dan (3) lemah syahwat (al-‘unnah). Ada pula yang khusus pada perempuan, yaitu dua: (1) al-qarn (kelainan pada alat kelamin yang menghalangi hubungan suami istri) dan (2) al-rataq (tertutupnya lubang kemaluan secara bawaan). Dan ada pula yang bersifat umum (dialami oleh laki-laki maupun perempuan), dan yang paling penting ada tiga: (1) kusta (al-judzam); (2) gila (al-junun); dan (3) vitiligo (al-barash).

Dalam permasalahan ini, tidak terdapat hadis sahih secara khusus (spesifik) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang menjadi sandaran atau landasan hukum adalah perkataan (atsar) para sahabat, meskipun sebagian atsar tersebut terdapat komentar atau kelemahan tentang status kesahihannya sebagaimana telah dijelaskan. Namun, terdapat hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersifat umum yang dapat dijadikan sebagai sandaran, misalnya,

من غشنا فليس منا

“Siapa saja yang menipu kami, maka ia bukan dari golongan kami.”

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

الدين النصيحة …

“Agama adalah nasihat … “

Sehingga tidak boleh bagi siapa pun untuk menipu pasangan, baik suami maupun istri. Seorang suami tidak boleh menyembunyikan cacat yang dia miliki, demikian pula seorang istri tidak boleh menyembunyikan cacat yang dia miliki.

Di antara dalil yang menunjukkan pentingnya cacat (ʿuyub) dalam pernikahan adalah bahwa para fuqaha dari mazhab Syafi’i dan Maliki menganggap bebas dari cacat sebagai salah satu syarat kecocokan (sekufu, atau al-kafa’ah) [3]. Mereka memberikan alasan bahwa jiwa seseorang akan merasa enggan (terganggu) untuk hidup bersama orang yang memiliki cacat, dan keberadaan cacat ini mengganggu tujuan utama pernikahan. Bahkan, Ibnu Rusyd rahimahullah menetapkan suatu kaidah yang menunjukkan pendapat para ulama yang mengikuti pandangan ini. Beliau berkata,

كل من يقول برد النكاح من العيوب، يجعل الصحة من الكفاءة

“Setiap orang yang membolehkan pembatalan pernikahan karena adanya cacat, berarti menjadikan kesehatan sebagai bagian dari al-kafa’ah.[4]

Dalil dalam masalah ini adalah atsar (riwayat-riwayat dari para sahabat), dan ditambah pula dengan pertimbangan akal (rasional). Hal ini karena hukum asal dalam akad nikah adalah terbebas dari cacat, sebagaimana halnya dalam akad-akad lainnya. Sehingga seakan-akan bebas dari cacat itu merupakan syarat dalam akad (meskipun tidak dinyatakan secara langsung), karena terbebas dari cacat dianggap sebagai sesuatu yang disyaratkan secara ‘urf (kebiasaan). Selain itu, suatu akad yang  dilakukan tanpa adanya penjelasan tertentu, maka secara umum dipahami mengandung makna terbebas dari cacat.

Kandungan kedua

Mayoritas ulama, termasuk di antaranya mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, berpendapat bahwa pembatalan (fasakh) akad nikah dibolehkan jika ditemukan cacat pada salah satu dari kedua pasangan, dengan perincian di antara mereka mengenai jenis-jenis cacat yang dapat menyebabkan pembatalan nikah. Mereka berdalil dengan atsar-atsar yang ada dalam bab ini, serta karena wanita adalah salah satu pihak dalam pernikahan, maka diperbolehkan baginya untuk menolak (suaminya) karena cacat yang menghalangi tujuan dari pernikahan.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, suami tidak memiliki hak untuk membatalkan (fasakh) pernikahan karena adanya cacat pada istri. Hal ini karena suami memiliki hak talak sebagai pengganti, juga untuk melindungi (kehormatan) istri, dan menghindari pencemaran nama baik terhadapnya. Sedangkan istri tidak berhak membatalkan pernikahan karena cacat-cacat yang sifatnya menjijikkan (menyebabkan si istri menjauh dari suami, pent.).

Istri hanya memiliki hak fasakh atas cacat-cacat yang menghalangi hubungan seksual, yaitu kebiri (al-jabb), lemah syahwat (al-‘unnah), dan impoten permanen (al-khisha’), karena cacat-cacat tersebut merusak tujuan utama pernikahan, yaitu untuk mendapatkan keturunan. Selain itu, Muhammad bin Hasan dan At-Thahawi menambahkan cacat-cacat yang tidak memungkinkan untuk tinggal bersama kecuali dengan kesulitan, seperti penyakit kusta (al-judzam), vitiligo (al-barash), dan gila (al-junun). [5]

Sementara itu, Dawud, Ibnu Hazm, dan pengikut mereka berpendapat bahwa nikah tidak dapat dibatalkan sama sekali karena adanya cacat [6], dan tidak ada opsi bagi salah satu pihak. Pilihan yang ada untuk suami hanyalah bertahan atau menceraikan dengan baik-baik. Sedangkan istri hanya memiliki pilihan untuk bertahan atau mengajukan khulu‘ (pembatalan nikah dengan membayar tebusan kepada suami). Mereka beralasan bahwa tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan adanya hak fasakh bagi salah satu pihak karena adanya cacat. Selain itu, pendapat para sahabat dalam masalah ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah karena ucapan sahabat bukanlah dalil, terutama dalam masalah yang bersifat ijtihadiyah (perbedaan pendapat karena tidak ada dalil tegas). Pendapat mereka ini juga diperkuat oleh Asy-Syaukani. [7]

Kandungan ketiga

Para ulama berbeda pendapat mengenai cacat-cacat yang menyebabkan pembatalan (fasakh) pernikahan. Sebagian dari mereka membatasi pada cacat-cacat tertentu saja, seperti cacat pada alat kelamin, kusta, gila, dan vitiligo, karena itulah yang diriwayatkan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum, sedangkan sebagian yang lain menggeneralisasi untuk cacat-cacat lainnya.

Pendapat yang paling bagus dalam hal ini adalah apa yang disebutkan oleh ulama besar Ibnu al-Qayyim rahimahullah, yang mengatakan,

والقياس أن كل عيب ينفر الزوج الآخر منه، ولا يحصل به مقصود النكاح من الرحمة والمودة يوجب الخيار، وهو أولى من البيع، كما أن الشروط المشترطة في النكاح أولى بالوفاء من شروط البيع، وما ألزم الله ورسوله مغرورًا قط، ولا مغبونًا بما غُرَّ به وغبن به

“Berdasarkan analogi (qiyas) adalah bahwa setiap cacat yang membuat salah satu pasangan merasa jijik (menjauh) dan dengan adanya cacat tersebut tujuan pernikahan berupa kasih sayang dan mawaddah tidak tercapai, maka cacat itu menyebabkan adanya hak pilihan (khiyar), yang hukumnya lebih utama daripada jual beli. Hal ini karena syarat-syarat yang disyaratkan dalam pernikahan lebih berhak untuk dipenuhi dibandingkan dengan syarat dalam jual beli. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk ditipu atau dirugikan karena adanya penipuan…’

Oleh karena itu, dalam cakupan ini termasuk cacat berupa kebutaan, bisu, kehilangan tangan atau kaki —baik satu atau keduanya—, dan penyakit kusta, karena itu termasuk cacat-cacat besar yang menjijikkan dan bertentangan dengan tujuan utama pernikahan. Ini adalah pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah [8], dan juga pilihan Syekh ‘Abdurrahman As-Sa’di [9].

Yang benar, masalah cacat-cacat ini sangat penting, dan wajib bagi para hakim untuk memperhatikan dan berlaku adil kepada suami dan istri dalam hal ini. Mereka harus berijtihad dengan tidak membatalkan pernikahan kecuali atas cacat yang memang benar-benar cacat. Mereka juga tidak boleh terpaku hanya pada cacat-cacat tertentu yang sudah disebutkan saja, karena mungkin ada cacat lain yang tidak disebutkan oleh para ulama terdahulu yang sama beratnya atau bahkan lebih berat daripada yang sudah disebutkan.

[Bersambung]

***

@Unayzah, KSA; 3 Muharam 1447/ 28 Juni 2025

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Al-Furqatu Baina Az-Zaujain, hal. 120.

[2] Yaitu pengangkatan atau penghilangan alat kelamin laki-laki (terutama penis dan/atau testis), baik secara total maupun sebagian, sehingga seorang laki-laki tidak mampu melakukan hubungan suami istri dan tidak bisa memiliki keturunan.

[3] Silakan disimak kembali tulisan kami tentang sekufu (al-kafa’ah) dalam pernikahan di tautan ini.

[4] Mughni Al-Muhtaj, 3: 165; Bidayatul Mujtahid, 3: 32; Ahkaam Az-Zawaj, hal. 234.

[5] Badaa’i Ash-Shanaa’i, 2: 327.

[6] Al-Muhalla, 10: 58.

[7] Nailul Authar, 6: 178.

[8] Zaadul Ma’ad, 5: 183; Al-Fatawa, 32: 161.

[9] Al-Mukhtarat Al-Jaliyah, hal. 105.  


Artikel asli: https://muslim.or.id/107007-membatalkan-pernikahan-karena-adanya-aib-bag-1.html